Apa jadinya jika pemimpin Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat adalah perempuan? Pernyataan Sri Sultan Hamengkubowono X akhir pekan lalu tentang kemungkinan penerus tahtanya adalah perempuan memang mengejutkan berbagai kalangan di DIY. Beragam tanggapan pun muncul dari abdi dalem Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat hingga masyarakat luas di DIY.
Akhir pekan lalu, Raja Jawa yang diangkat sejak tahun 1989 itu mengatakan bahwa penerus tahtanya sebagai Sultan bisa saja dari perempuan. Memang pada kenyataannya, Sultan HB X tidak mempunyai keturunan laki-laki yang biasanya dalam aturan sebuah kerajaan dipastikan naik menggantikan ayahnya sebagai pemegang tahta. Apabila pernyataan Sultan ini terealisasikan, maka mau tidak mau GKR Pembayun, keturunan Sri Sultan Hamengkubowono IX akan naik tahta menggantikan ayahnya.
Pernyataan orang nomor satu di DIY tersebut menuai beragam komentar dari masyarakat. Mereka yang pro berdasar pada hukum demokrasi bahwa seorang perempuan juga berhak menduduki tahta, sedangkan kalangan yang tidak setuju berpegang pada pakem paugeran bahwa seorang raja adalah Sayidin Panatagama Kalifatullah dan dia adalah laki-laki.
Dalam paugeran Keraton, tahta mahkota harus diduduki oleh seorang laki-laki, bukannya perempuan. Kedudukan Raja keraton yang laki-laki juga sudah disesuaikan dengan prinsip-prinsip agama yang dianut yaitu Islam. Paugeran Keraton menyepakati bahwa Keraton itu adalah seorang Sayidin Panitagama Khalifatullah. Dalam catatan sejarah memang tidak ada seorang khalifah dijabat oleh seorang perempuan. Sementara, di kalangan masyarakat menilai hal tersebut justru akan membawa gejolak berkepanjangan.
Ini merupakan tantangan Keraton yang masih tradisional dan memegang teguh prinsip kebudayaan didalamnya untuk melakukan reformasi seiring dengan modernisasi yang dituntut agar dinamis. Mereka mayoritas berpandangan Keraton dipimpin oleh seorang laki-laki, namun di zaman yang seperti ini, pihak Keraton sendiri haruslah membuka mata bahwa ini adalah zaman modernisasi. Zaman dimana apapun bisa terjadi. Keraton haruslah luwes. Indonesia adalah salah satu negara yang mengagung-agungkan permasalahan gender. Perempuan di Indonesia hampir dikatakan setara dengan laki-laki. Saat ini, perempuan dan laki-laki memiliki hak yang sama.
Keraton dipimpin oleh Raja yang perempuan memang tidak masalah. Karena itu, tidak ada lagi perbedaan dalam cara memimpin. Akan tetapi memang perlu dipertimbangkan dari berbagai aspek. Hal itu dikarenakan gender memang tidak bisa dikaitkan dengan suksesi di Keraton. Beberapa aspek diantaranya adalah dari aspek konstruksi sosial dan budaya. Dua aspek tersebut tidak akan bisa lepas begitu saja dari keberadaan Keraton. Kalaupun perempuan tersebut memiliki kemampuan untuk memimpin Keraton, kenapa tidak dia saja yang memimpin. Asalkan masyarakat DIY bisa menerima dan mau dipimpin oleh seorang perempuan.
Toh juga Indonesia adalah negara yang hebat, Presiden saja pernah dijabat oleh seorang perempuan, Gubernur pun demikian, kita tahu di Banten, Ratu Atut menjadi pemimpin daerah disana. Mengapa Sultan di Keraton tidak bisa dijabat seorang perempuan?
Nama: Cakra Virajati
NIM : 153080155
Kelas : G
(kolom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar