Ada fenomena aneh di balik kisah sukses Detasemen Khusus 88 membekuk para teroris beberapa bulan terakhir ini. Yaitu, hampir semua terorisnya mati tertembak ataupun terbunuh dengan cara lain. Pasca peledakan hotel J.W. Marriot dan Ritz Carlton tanggal 17 Juli 2009, tak kurang dari belasan teroris yang dianggap berperan langsung dan tidak langsung telah terbunuh. Banyak pihak mengacungkan jempol terhadap ‘prestasi’ Densus 88. Memang, dari sisi produktivitas pemburuan teroris, Densus 88 amat sangat produktif. Belasan buron tewas hanya dalam kurun waktu dua bulan. Buronan nomor wahid pula. Permasalahannya adalah, haruskah mereka dibunuh?
Indonesia adalah negara hukum, dimana proses peradilan haruslah dihormati karena di forum tersebutlah alat-alat bukti dan saksi diuji dan dipertukarkan keterangannya. Di majelis yang mulia itulah informasi dan keterangan terdakwa, saksi maupun korban dan ahli diperdengarkan.
Kalaupun benar mereka adalah teroris, maka pengadilan pun bisa mengungkap lebih jauh tentang motif, tujuan, peta jaringan, peran yang dimainkan, hingga unsur kesalahan masing-masing individu. Hukuman dapat dijatuhkan sesuai dengan peran dan derajat kesalahan serta tanggungjawab yang diemban setiap individu. Palu hakim masih memberikan beberapa pilihan. Sangat berbeda dengan laras senapan senapan polisi yang seringkali tanpa kompromi dan tak pula bertelinga.
Aksi penumpasan jaringan teroris yang dilancarkan Detasemen Khusus (Densus) 88 Antiteror dengan jalan menembak mati para pelaku di lokasi penggerebekan banyak menuai protes. Dalam menjalankan tugas Polri hendaknya harus tetap menegakkan prinsip-prinsip hukum. Orang-orang yang diduga teroris, cukup dilumpuhkan saja, jangan ditembak mati. Belakangan masyarakat sudah mulai kurang simpati dengan langkah Densus 88. Apresiasi terhadap keberhasilan Densus membongkar jaringan teroris sudah mulai berkurang. Kini yang muncul malah pertanyaan. Ada kesan polisi menggerebek sarang teroris itu hanya untuk pencitraan atau mengalihkan isu saja. Bisa jadi keberhasilan Densus 88 di tengah keterpojokan pemerintah dalam kasus Bank Century ini bagian dari proses yang normal. Hal ini mengingatkan kita pada keberhasilan Densus 88 AT menembak mati Noordin M. Top saat dugaan adanya kriminalisasi KPK yang menjadi ikon perseteruan Polri dengan KPK.
Maka, jangan heran jika kini ada pembalikan opini publik yang luar biasa seiring dengan keberhasilan pasukan Densus 88 dalam berbagai aksi penyergapan, baku tembak, dan penangkapan terduga teroris. Kesuksesan Polri saat menyergap dan menembak mati teroris terakhir di Solo dan Sukoharjo seakan menjadi puncak kedahsyatan pasukan Densus 88, setelah mereka juga berhasil menewaskan gembong teroris lainnya seperti Dr Azahari, Noor Din M. Top, dan Dulmatin. Dalam sejarahnya, barangkali belum pernah Polri mendapatkan dukungan publik sebesar saat mereka melakukan perang terhadap terorisme seperti sekarang ini.
Yang perlu diingat, keberhasilan yang dicapai bukanlah akhir dari sebuah pencarian tokoh teroris utama, tetapi justru merupakan sebuah awal pengumpulan bahan keterangan, tentang bagaimana masa depan, kemampuan dan arah serangan para murid DR Azhari serta kader dan simpatisan Noordin.
Nama : Cakra Virajati
NIM : 153080155
Kelas : G
(Tajuk)
NIM : 153080155
Kelas : G
(Tajuk)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar